PHARMACY OF COMMUNITY

PHARMACY OF COMMUNITY
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI INDONESIA (STIFI) BHAKTI PERTIWI PALEMBANG

Senin, 04 Agustus 2014

LANDASAN AXIOLOGI DALAM FILSAFAT FARMASI
Disusun oleh :
KELOMPOK  5
·        Sri Azhari Budiarsih               (201210410311048)
·        Es Hari Pamuji                       (201210410311050)
·        Dyah Nuri R.                          (201210410311052)
·        Novita Riski Kristanti            (201210410311055)
·        Renny Primasari                     (201210410311060)
·        Muhammad Akbar Wirawan (201210410311066)
JURUSAN FARMASI
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS  MUHAMMADIYAH  MALANG
2012/2013


KATA PENGANTAR
          Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, yang atas rahmat-NYA maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul LANDASAN AXIOLOGI DALAM FILSAFAT FARMASI
          Penulisan makalah ini adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas “MATA  KULIAH  FILSAFAT FARMASI ”.
          Dalam penulisan makalah ini penulis merasa banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalh ini.
          Semoga materi ini dapat bermanfaat sehingga tujuan yang diharapkan dapat tercapai.Amiinn.
                                                                                                      Malang, 05 Januari 2013
                                                                                                      Penulis

Bab I

PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Axiologi berasal dari kata – kata yunani. axios = nilai dan logos berarti pandangan/teori. Secara terminologi axiologi adalah nilai akhir (ultimate value) kebenaran. Dalam bidang ini biasanya mereka bertanya apakah nilai itu ide di dalam pikiran (internal) manusia atau sebenrnya berada diluar (ekternal) manusia, yang bersifat independen terlepas dari individu yang menaggapinya? Dan apakah yang menjadi norma kebenaran dan norma kebaikan? Kapan setiap konsep itu dikatakan benar atau salah? Mengapa suatu prilaku itu dianggap benar? Nah pertanyaan – pertanyaan inilah yang menjadikan mereka mencoba mengkaji sebuah konsep kebenaran dan menjadikan konsep kebenaran yang mereka jadikan tersebut sebagai standar/landasan dalam berfilsafat.
Bidang axiologi inilah yang berperan penting untuk melanggengkan ide filsafat ini di abad 17-an. Dalam pembahasan axiologi kebenaran menjadi objek logika dan metodologi filsafat ilmu yang berusaha menjelaskan syarat – syarat yang harus di miliki agar sebuah konsepsi di katakan benar. Patut digarisbawahi bahwa dalam bidang aksiologi tidak dikaji sesuatu “bagaimana adanya” tetapi mengkaji sesuatu “bagaimana seharusnya”, dengan berpatokan kepada kebenaran yang di mereka (axiologi) definisikan. Dengan demikian disadari atau tidak, jika kita berupaya untuk berfilsafat maka kita telah terjebak dalam konsep kebenaran yang Axiologi definisikan. Segala sesuatu harus mengikuti norma kebenaran filsafat, kalau mau dikatakan para pemikir filsafat. Oleh karena salah satu dasar kekeliruan dalam berfilsafat adalah membuat norma kebenaran yang menjadi takaran pemikiran yang benar, bagi prilaku yang baik. sehingga atas dasar seperti ini kita kaum muslimin kebanyakan terjebak dalam filsafat dengan mengikuti norma kebenaran filsafat.
Menurut bahasa Yunani, aksiologi berasal dari kata axios artinya nilai dan logos artinya teori atau ilmu. Jadi aksiologi adalah teori tentang nilai. Aksiologi bisa juga disebut sebagai the theory of value atau teori nilai. Berikut ini dijelaskan beberapa definisi aksiologi. Menurut Suriasumantri (1987:234) aksiologi adalah teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Menurut Kamus Bahasa Indonesia (1995:19) aksiologi adalah kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai khususnya etika. Menurut Wibisono aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran, etika dan moral sebagai dasar normative penelitian dan penggalian, serta penerapan ilmu.
Jadi Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Menurut Bramel Aksiologi terbagi tiga bagian :
1. Moral Conduct, yaitu tindakan moral, Bidang ini melahirkan disiplin khusus  yaitu etika.
2. Estetic expression, yaitu ekspresi keindahan, bidang ini melahirkan keindahan
3. Socio-politcal life, yaitu kehidupan social politik, yangakan melahirkan filsafat social politik.

 

B.     Rumusan Masalah

Dari permasalahan diatas, dapat diambil suatu formulasi yang kemudian dirumuskan sebagai berikut:
1.    Bagaimana Hubungan Farmasi dengan Axiologi?
2.    Apa sajakah Kategori dasar axiologi?
3.    Apa sajakah penilaian dalam axiology dan bagaimana hubungannya dengan farmasi ?
4.    Apa sajakah kaitan axiology dengan filsafat ilmu?

C.    Tujuan Penulisan

1.    Menjelaskan hubungan dan kaitan antara axiology dengan ilmu farmasi
2.    Menjelaskan kategori dasar axiologi
3.    Mengetahui penilaian-penilaian dalam axiology dan hubungan penilaian tersebut didalam farmasi
4.    Mengetahui kaitan landasan axiology dengan filsafat ilmu

D.    Metode Penulisan

Makalah ini disusun dengan menggunakan metode deskriptif analisis dan kajian pustaka

E.     Sistematika Penulisan

System penulisan makalah ini terdiri dari: BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan; BAB II Pembahasan, BAB III Penutup, berisi kesimpulan

Bab II

PEMBAHASAN

A.    Hubungan Farmasi Dengan Axiologi

Aksiologi yaitu manfaat dari ilmu-ilmu kefarmasian.Disini akan membahas dan mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut.Kegunaan atau landasan axiologis farmasi adalah bertujuan untuk kesehatan manusia.
Pemberdayaan farmasi dalam bidang pengabdian kesehatan tidak hanya terbatas pada bagaimana meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, tetapi harus bernuansa lebih luas, yaitu bagaimana meningkatkan kualitas SDM dan kualits kehidupan, maka peranan farmasi hendaknya bukan hanya terbatas pada bagaimana menemukan obat, tetapi jauh lebih kedepan bagaimana mengembangkannya dan membantu masyarakat agar mereka mau dan mampu menjaga kesehatannya dengan baik serta menjadikan industri farmasi dan unit-unit pelayanan kefarmsian sebagai sarana untuk meningkatkan derajat kehidupan dan penghidupan yang layak bagi sebagian besar masyarakat dan ummat manusia seluruhnya.
Mengingat bahwa tingkat kemampuan masyarakat sangat bervariasi, selain menyebabkan bervariasinya penyakit yang diderita dan yang paling penting adalah kemampuan mereka untuk membayar biaya kesehatan juga sangat bervariasi. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi farmasis/apoteker untuk pemberian alternatif obat-obatan yang dapat memenuhi tuntutan masyarakat sehingga seluruh masyarakat dapat terlayani dengan baik, terutama masyarakat yang berpendapatan rendah.
Untuk hal tersebut di atas, sangat dibutuhkan kerjasama antara farmasis/apoteker dengan pihak-pihak terkait (interdisipliner), dan didukung oleh wawasan luas yang berorientasi pada kesehatan yang paripurna dan hedonistik, produktif manusiawi, serta berwawasan lingkungan yang ekologis, bernuansa pada kesejakteraan yang universal.
Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telah farmasi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi kini dan masa datang. Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif dalam menentukan visi pengabdian farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat manusia. Kurikulum pendidikan farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan tenaga ahli dibidang kefarmasian yang berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.
Farmasis/apoteker yang berdaya intelektual dan berdaya moral haruslah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan nilai kejujuran dalam menjalankan profesinya. Setiap keputusan yang diambil, pilihan yang ditentukan, penilaian yang dibuat hendaknya selalu mengandung dimensi etika. Khusus dalam bidang pelayanan kefarmasian penulis ingin menggaris bawahi bahwa sarana pelayanan harus mngikuti paradigma asuhan kefarmasian dimana farmasis/apoteker harus ada di tempat.
Di lain pihak patut dicermati bahwa minat penyelenggara pendidikan tinggi baik negeri maupun swasta di Indonesia cukup tinggi. Sesuai data ISFI tahun 2006 tercatat 60 perguruan tinggi di Indonesia yang mengelola pendidikan farmasi dengan jumlah luaran kurang lebih 20.000 Apoteker hingga tahun 2007. Penulis berharap kiranya kecenderungan ini tidak justru karena ‘pangsa pasarnya’ yang memang cukup banyak diminati. Akan tetapi, kecenderungan ini hendaknya berangkat dari itikat turut mendorong dalam mengembangkan kefarmasian di segala bidang.

B.     Kategori Dasar Axiologi

Terdapat dua kategori dasar aksiologi :
1.      Objectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu yang dilakukan apa adanya sesuai keadaan objek yang dinilai.
Contohnya : Dalam membuat obat herbal,biasanya daftar bahan yang akan kita buat itu sesuai dengan bahan alam(herbal),dan sebagian penambah bahan obat seperti sacharrum lactis untuk penambah rasa obat.
2.      Subjectivism, yaitu penilaian terhadap sesuatu dimana dalam proses penilaian terdapat  unsur intuisi (perasaan).
Contohnya : Dalam meracik obat-obatan itu penuh dengan ketelitian dan waktu yang lumayan cukup lama.
Dari sini muncul empat pendekatan etika, yaitu :
1. Teori nilai intuitif
2. Teori nilai rasional
3. Teori nilai alamiah
4. Teori nilai emotif
Teori nilai intuitif dan teori nilai rasional beraliran obyectivis sedangkan teori nilai alamiah dan teori nilai emotif beraliran subyektivis.
1. Teori Nilai intuitif (The Intuitive theory of value)
Teori ini berpandangan bahwa sulit jika tidak bisa dikatakan mustahil untuk mendefinisikan suatu perangkat nilai yang absolut. Bagaimanapun juga suatu perangkat nilai yang absolute itu eksis dalam tatanan yang bersifat obyektif. Nilai ditemukan melalui intuisi karena ada tatanan moral yang bersifat baku. Mereka menegaskan bahwa nilai eksis sebagai piranti obyek atau menyatu dalam hubungan antar obyek, dan validitas dari nilai tidak bergantung pada eksistensi atau perilaku manusia. Sekali seseorang menemukan dan mengakui nilai tersebut melalui proses intuitif, ia berkewajiban untuk mengatur perilaku individual atau sosialnya selaras dengan preskripsi moralnya.
2. Teori nilai rasional (The rational theory of value)
Bagi mereka janganlah percaya padanilai yang bersifat obyektif dan murni independent dari manusia. Nilai tersebut ditemukan sebagai hasil dari penalaran manusia. Fakta bahwa seseorang melakukan suatu yang benar ketika ia tahu degan nalarnya bahwa itu benar, sebagai fakta bahwa hanyaorang jahat atu yang lalai ynag melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak atau wahyu tuhan. Jadi dengan nalar atau peran tuhan nilai ultimo, obyektif, absolut yang seharusnya mengarahkan perilakunya.
3. Teori nilai alamiah (The naturalistic theory of value)
Nilai menurutnya diciptakan manusia bersama dengan kebutuhan-kebutuhan dan hasrat-hasrat yang dialaminya. Nilai adalah produk biososial, artefak manusia, yang diciptakan , dipakai, diuji oleh individu dan masyarakat untuk melayani tujuan membimbing perilaku manusia. Pendekatan naturalis mencakup teori nilai instrumental dimana keputusan nilai tidak absolute tetapi bersifat relative. Nilai secara umum hakikatnya bersifat subyektif, bergantung pada kondisi manusia.
4. Teori nilai emotif (The emotive theory of value)
Jika tiga aliran sebelumnya menentukan konsep nilai dengan status kognitifnya, maka teori ini memandang bahwa konsep moral dan etika bukanlah keputusan factual tetapi hanya merupakan ekspresi emosi dan tingkah laku. Nilai tidak lebih dari suatu opini yang tidak bisa diverivikasi, sekalipun diakui bahwa penelitian menjadi bagian penting dari tindakan manusia.

C.    Penilaian Dalam Axiologi dan Hubungannya dengan farmasi

Dalam aksiologi, ada dua penilain yang umum digunakan, yaitu etika dan estetika. Etika adalah cabang filsafat yang membahas secara kritis dan sistematis masalah-masalah moral. Kajian etika lebih fokus pada prilaku, norma dan adat istiadat manusia. Etika merupakan salah-satu cabang filsafat tertua. Setidaknya ia telah menjadi pembahasan menarik sejak masa Sokrates dan para kaum shopis. Di situ dipersoalkan mengenai masalah kebaikan, keutamaan, keadilan dan sebagianya. Etika sendiri dalam buku Etika Dasar yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno diartikan sebagai pemikiran kritis, sistematis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral. Isi dari pandangan-pandangan moral ini sebagaimana telah dijelaskan di atas adalah norma-norma, adat, wejangan dan adat istiadat manusia. Berbeda dengan norma itu sendiri, etika tidak menghasilkan suatu kebaikan atau perintah dan larangan, melainkan sebuah pemikiran yang kritis dan mendasar.
 Tujuan dari etika adalah agar manusia mengetahi dan mampu mempertanggungjawabkan apa yang ia lakukan.
 Didalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku manusia menjadi sentral persoalan. Maksudnya adalah tingkah laku yang penuh dengan tanggung jawab, baik tanggung jawab terhadap diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap tuhan sebagai sang pencipta.
 Dalam perkembangan sejarah etika ada empat teori etika sebagai sistem filsafat moral yaitu, hedonisme, eudemonisme, utiliterisme dan deontologi. Hedoisme adalah padangan moral yang menyamakan baik menurut pandangan moral dengan kesenangan.Contohnya : Moral seorang apoteker ketika berada di apotek.  Eudemonisme menegaskan setiap kegiatan manusia mengejar tujuan. Dan adapun tujuan dari manusia itu sendiri adalah kebahagiaan.Contohnya : mahasiswa yang kuliah dengan jurusan farmasi karena dia ingin menjadi profesi apoteker.
 Selanjutnya utilitarisme, yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah memajukan kepentingan para warga negara dan bukan memaksakan perintah-perintah ilahi atau melindungi apa yang disebut hak-hak kodrati.Contoh : UUD tentang kesehatan. Selanjutnya deontologi, adalah pemikiran tentang moral yang diciptakan oleh Immanuel Kant. Menurut Kant, yang bisa disebut baik dalam arti sesungguhnya hanyalah kehendak baik. Semua hal lain disebut baik secara terbatas atau dengan syarat. Contohnya : kekayaan manusia apabila digunakan dengan baik oleh kehendak manusia.
·            Hubungan ETIKA dengan farmasi adalah didalam farmasi seorang apoteker juga dapat menerapkan landasan axiology dan cara berkomunikasi yang baik atau biasa disebut public speaking. Landasan axiology yang dapat diterapkan adalah etika dan sopan santun seorang apoteker dalam melayani pasien dan menerapkan cara berkomunikasi yang baik dan benar.
 Sementara itu, cabang lain dari aksiologi, yakni estetika. Estetika merupakan bidang studi manusia yang mempersoalkan tentang nilai keindahan. Keindahan mengandung arti bahwa didalam diri segala sesuatu terdapat unsur-unsur yang tertata secara tertib dan harmonis dalam satu kesatuan hubungan yang utuh menyeluruh. Maksudnya adalah suatu objek yang indah bukan semata-mata bersifat selaras serta berpola baik melainkan harus juga mempunyai kepribadian.
 Sebenarnya keindahan bukanlah merupakan suatu kualitas objek, melainkan sesuatu yang senantiasa bersangkutan dengan perasaan. Misalnya kita bengun pagi, matahari memancarkan sinarnya kita merasa sehat dan secara umum kita merasaakan kenikmatan. Meskipun sesungguhnya pagi itu sendiri tidak indah tetapi kita mengalaminya dengan perasaan nikmat. Dalam hal ini orang cenderung mengalihkan perasaan tadi menjadi sifat objek itu, artinya memandang keindahan sebagai sifat objek yang kita serap. Padahal sebenarnya  tetap merupakan perasaan.
·            Hubungan ESTETIKA dengan ilmu farmasi adalah estetika itu berupa keindahan.Didalam ilmu farmasi keindahan juga sangat penting terutama penampilan seorang apoteker ketika berada diapotek. Dengan adanya estetika yang kita terapkan dalam ilmu farmasi maka dapat menghasilkan nilai-nilai kefarmasian yang baik.

D.    Kaitan Axiologi dengan Filsafat Ilmu

Nilai itu bersifat objektif, tapi kadang-kadang bersifat subjektif. Dikatakan objektif jika nilai-nilai tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Tolak ukur suatu gagasan berada pada objeknya, bukan pada subjek yang melakukan penilaian. Kebenaran tidak tergantung pada kebenaran pada pendapat individu melainkan pada objektivitas fakta. Sebaliknya, nilai menjadi subjektif, apabila subjek berperan dalam memberi penilaian; kesadaran manusia menjadi tolak ukur penilaian. Dengan demikian nilai subjektif selalu memperhatikan berbagai pandangan yang dimiliki akal budi manusia, seperti perasaan yang akan mengasah kepada suka atau tidak suka, senang atau tidak senang.

Bab III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Aksiologi adalah bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang cara dan tujuan (means and and). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang konsisten untuk perilaku etis.
Aksiologi yaitu manfaat dari ilmu-ilmu kefarmasian.Disini akan membahas dan mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut.Kegunaan atau landasan axiologis farmasi adalah bertujuan untuk kesehatan manusia.
Dengan perspektif filsafat ilmu pengetahuan maka telah farmasi sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan dapat memberikan pencerahan bagi arah perkembangan farmasi kini dan masa datang. Penyelenggara pendidikan farmasi memiliki peran yang eksklusif dalam menentukan visi pengabdian farmasis/apoteker bagi kemaslahatan ummat manusia. Kurikulum pendidikan farmasi harus segera direvisi yang tidak hanya melahirkan tenaga ahli dibidang kefarmasian yang berdaya intelektual, tapi juga berdaya moral.

B.     Saran

Dalam filsafat ilmu farmasi kita mempelajari landasan axiology karena didalam farmasi kita dapat menerapkan penilaian-penilaian axiology dan menjadikan landasan axiology sebagai materi penerapan ilmu pengetahuan dibidang kefarmasian.

DAFTAR PUSTAKA

·                     http://ressay.wordpress.com/2008/03/19/388/