Disusun oleh :
ZULVA ARRASYIED
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan
kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari
persepsi filsafat tentang apa dan bagaimana (yang) “Ada” itu (being Sein, het
zijn). Paham monisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme, Paham
dualisme, pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang
pada akhimya menentukan pendapat bahkan keyakinan kita masing masing mengenai
apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.
Obyek penelaahan ilmu mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca indera manusia, seperti batua-batuan, binatang, tumbuhan, atau manusia itu sendiri; berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan obyek yang ditelaahnya, maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Inilah yang merupakan salah satu ciri ilmu yakni orientasi terhadap dunia empiris.
Pengetahuan keilmuan mengenai obyek-obyek empiris ini pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan. Penyederhanaan ini perlu, sebab kejadian alam yang sesungguhnya begitu kompleks, dengan sampel dari berbagai faktor yang terlibat di dalamnya. Ilmu tidak bermaksud “memotret” atau “memproduksikan” suatu kejadian tertentu dan mengabstraksikan dalam bahasa keilmuan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut mebahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles . Pada masanya, kebanyakan orang belum membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Ontologi ini pantas dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris.
Ontologi merupakan salah satu dari obyek garapan filsafat ilmu yang menetapkan batas lingkup dan teori tentang hakikat realitas yang ada (Being), baik berupa wujud fisik (al-Thobi’ah) maupun metafisik (ma ba’da al-Thobi’ah) selain itu Ontologi merupakan hakikat ilmu itu sendiri dan apa hakikat kebenaran serta kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah tidak terlepas dari persepektif filsafat tentang apa yang dikaji atau hakikat realitas yang ada yang memiliki sifat universal.
B. Rumusan Masalah
Dari
permasalahan diatas, dapat diambil suatu formulasi yang kemudian dirumuskan
sebagai berikut:
1. Bagaimana
struktur pengetahuan ilmiah?
2. Apa
sajakah asumsi-asumsi dalam ilmu penegetahuan?
3. Apa
sajakah batas-batas penjelajahan ilmu?
4. Bagaimana sesungguhnya karakteristik
filsafat ilmu?
5. Apa
sajakah batas-batas kerja ilmu?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendriskripsikan
struktur pengetahuan ilmiah
2. Menjelaskan
asumsi-asumsi dalam ilmu pengetahuan
3. Menjelaskan
batas-batas penjelajahan ilmu
4. Mengetahui
karakteristik filsafat ilmu
5. Mengetahui
batas-batas kerja ilmu
D. Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan
menggunakan metode deskriptif analisis dan kajian pustaka
E. Sistematika Penulisan
System penulisan makalah ini terdiri dari: BAB I Pendahuluan, berisi
latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan; BAB II Pembahasan, BAB III Penutup, berisi
kesimpulan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Struktur Pengetahuan Ilmiah
Ontologi dalam bahasa Inggris “ontology”; dari bahasa Yunani on, ontos
(ada, keberadaan) dan logos (studi, ilmu tentang). Ada beberapa pengertian
dasar mengenai apa itu “ontologi”. Pertama, ontologi merupakan studi tentang
ciri-ciri “esensial” dari Yang Ada dalam dirinya sendiri yang berbeda dari
studi tentang hal-hal yang ada secara khusus. Dalam mempelajari ‘yang ada’
dalam bentuknya yang sangat abstrak studi tersebut melontarkan pertanyaan
seperti “Apa itu Ada dalam dirinya sendiri?” Kedua, ontologi juga bisa
mengandung pengertian sebuah cabang filsafat yang menggeluti tata dan struktur
realitas dalam arti seluas mungkin, yang menggunakan katagori-katagori seperti
: ada/menjadi, aktualitas/potensialitas, esensi, keniscayaan dasar, yang ada
sebagai yang ada. Ketiga, ontologi bisa juga merupakan cabang filsafat yang
mencoba melukiskan hakikat Ada yang terakhir, ini menunjukan bahwa segala hal
tergantung padanya bagii eksistensinya. Keempat, Ontologi juga mengandung
pengertian sebagai cabang filsafat yang melontarkan pertanyaan, apa arti Ada
dan Berada dan juga menganalisis bermacam-macam makna yang memungkinkan hal-hal
dapat dikatakan Ada. Kelima, Ontologi bisa juga mengandung pengertian sebuah
cabang filsafat a) menyelidiki status realitas suatu hal misalnya “apakah objek
pencerapan atau persepsi kita nyata atau bersifat ilusif (menipu)? “apakah
bilangan itu nyata?” “apakah pikiran itu nyata?” b) menyelidiki apakah jenis
realitas yang dimiliki hal-hal (misalnya, “Apa jenis realitas yang dimiliki
bilangan? Persepsi? Pikiran “ dan c) yang menyelidiki realitas yang menentukan
apa yang kita sebut realitas. Dari beberapa pengertian dasar tersebut bisa
disimpulkan bahwa ontologi mengandung pengertian “pengetahuan tentang yang
ada”.
Istilah ontologi muncul sekitar pertengahan abad ke-17. Pada waktu itu ungkapan filsafat mengenai yang ada (philosophia entis) digunakan untuk hall yang sama. Menurut akar kata Yunani, ontologi berarti ‘teori mengenai ada yang berada’. Oleh sebab itu, orang bisa menggunakan ontologi dengan filsafat pertama Aristoteles, yang kemudian disebut sebagai metafisika. Namun pada kenyataannya, ontologi hanya merupakan bagian pertama metafisika, yakni teori mengenai yang ada, yang berada secara terbatas sebagaimana adanya dan apa yang secara hakiki dan secara langsung termasuk ada tersebut.
Beberapa ahli filsafat memang banyak hal mempunyai pengertian yang berbeda satu sama lain. Namun jika ditarik dalam garis benang yang saling berkaitan maka ada beberapa hubungan yang hampir sama bahwa ontologi adalah ilmu tentang yang ada sebagai bagian cabang filsafat yang sama. Baumgarten mendefinisikan ontologi sebagai studi tentang predikat-predikat yang paling umum atau abstrak dari semua hal pada umumnya. Ia sering menggunakan istilah “metafisika universal” dan ”filsafat pertama” sebagai sinonim ontologi. Heidegger memahami ontologi sebagai analisis konstitusi “ yang ada dari eksistensi”, ontologi menemukan keterbatasan eksistensi, dan bertujuan menemukan apa yang memungkinkan eksistensi.
Ontologi merupakan ‘ilmu pengetahuan’ yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi segala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat ‘bagian’. Ia merupakan konteks untuk semua konteks lainnya, cakrawala yang merangkum semua cakrawala lainnya, pendirian yang meliputi segala pendirian lainnya. Sebagai tugasnya memang ‘ontologi’ selalu mengajukan pertanyaan tentang bagaimana proses ‘mengada’ ini muncul.
Pertanyaannya selalu berangkat dari situasi kongkrit. Dengan demikian
ontologi menanyakan sesuatu yang tidakserba tidak terkenal. Andaikata memang
sesuatu tidak terkenal maka mustahil pernah akan dapat ditanyakan. Dalam ruang
kerjanya ‘ontologi’ bergerak di antara dua kutub, yaitu antara pengalaman akan
kenyataan kongkrit dan prapengertian ‘mengada’ yang paling umum. Dalam refleksi
ontologis kedua kutub ini saling menjelaskan. Pengalaman tentang kenyataan akan
semakin disadari dieksplisitkan arti dan hakikat ‘mengada’. Sebaliknya juga,
prapemahaman tentang cakrawala ‘mengada’ akan semakin menyoroti pengalaman
kongkrit dan membuatnya terpahami sungguh-sungguh.
B. Asumsi-asumsi Ilmu
Objek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang
yang ada, pada dataran studi filsafat pada umumnya di lakukan oleh filsafat
metaphisika. Istilah ontologi banyak di gunakan ketika kita membahas yang ada
dlaam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang meliputi semua realitas dalam semua bentuknya.
A. Objek Formal
Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau jumlah,
tealaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi aliran-aliran
materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme. Referensi tentang
kesemuanya itu penulis kira cukup banyak. Hanya dua yang terakhir perlu kiranya
penulis lebih jelaskan. Yang natural ontologik akan diuraikan di belakang
hylomorphisme di ketengahkan pertama oleh aristoteles dalam bukunya De Anima.
Dalam tafsiran-tafsiran para ahli selanjutnya di fahami sebagai upaya mencari
alternatif bukan dualisme, tetapi menampilkan aspek materialisme dari mental.
B. Metode dalam Ontologi
Lorens Bagus memperkenalkan tiga tingkatan abstraksi
dalam ontologi, yaitu : abstraksi fisik, abstraksi bentuk, dan abstraksi
metaphisik. Abstraksi fisik menampilkan keseluruhan sifat khas sesuatu objek;
sedangkan abstraksi bentuk mendeskripsikan sifat umum yang menjadi cirri semua
sesuatu yang sejenis. Abstraksi metaphisik mengetangahkan prinsip umum yang
menjadi dasar dari semua realitas. Abstraksi yang dijangkau oleh ontologi
adalah abstraksi metaphisik.
Sedangkan metode pembuktian dalam ontologi oleh Laurens Bagus di bedakan menjadi dua, yaitu : pembuktian a priori dan pembuktian a posteriori. Pembuktian a priori disusun dengan meletakkan term tengah berada lebih dahulu dari predikat; dan pada kesimpulan term tengah menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan.
Sedangkan pembuktian a posteriori secara ontologi, term tengah ada sesudah realitas kesimpulan; dan term tengah menunjukkan akibat realitas yang dinyatakan dalam kesimpulan hanya saja cara pembuktian a posterioris disusun dengan tata silogistik.
Bandingkan tata silogistik pembuktian a priori dengan a posteriori. Yang apriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan predikat dan term tengahj menjadi sebab dari kebenaran kesimpulan; sedangkan yang a posteriori di berangkatkan dari term tengah di hubungkan dengan subjek, term tengah menjadi akibat dari realitas dalam kesimpulan.
Ontologi menurut Anton Bakker (1992) merupakan ilmu pengetahuan yang paling universal dan paling menyeluruh. Penyelidikannya meliputi gejala pertanyaan dan penelitian lainnya yang lebih bersifat bagian. Ontologi berusaha memahami keseluruhan kenyataan, segala sesuatu yang mengada segenapnya.
Ontologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang yang ada. Dalam kaitan dengan ilmu, landasan ontologis mempertanyakan tentang objek yang ditelaah oleh ilmu. Secara ontologis ilmu membatasi lingkup penelaahan keilmuannya hanya pada daerah yang berada dalam jangkauan pengalaman manusia.
Dalam kaitannya dengan kaidah moral atau nilai-nilai hidup, maka dalam menetapkan objek penelaahan, kegiatan keilmuan tidak boleh melakukan upaya yang bersifat mengubah kodrat manusia, merendahkan martabat manusia, dan mencampuri permasalahan kehidupan.
Hakekat kenyataan atau realitas memang bisa didekati ontologi dengan dua macam sudut pandang:
1. Kuantitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah
kenyataan itu tunggal atau jamak?
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
2. Kualitatif, yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna kehijauan, bunga mawar yang berbau harum.
Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
C. Batas-batas Penjelajahan Ilmu
Dasar ontologi ilmu sebenarnya ingin berbicara pada
sebuah pertanyaan dasar yaitu : apakah yang ingin diketahui ilmu ? Atau bisa
dirumuskan secara eksplisit menjadi : apakaj yang menjadi bidang telaah ilmu ?
Berbeda dengan agama atau bentuk pengetahuan yang lainnya, maka ilmu membatasi
diri hanya kepada bkejadian yang bersifat empiris. Secara sederhana objek
kajian ilmu ada dalam jangkauan pengalaman manusia. Objek kajian ilmu mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh pacaindera manusia. Dalam
batas-batas tersebut maka ilmu mempelajari objek-objek empiris seperti
batu-batuan, binatang, tumbuh-tumbuhan , hewan atau manusia itu sendiri. Berdasarkan
hal itu maka ilmu ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris, di mana
objek-objek yang berbeda di luar jangkaun manusia tidak termasuk di dalam
bidang penelaahan keilmuan tersebut.
Untuk mendapatkan pengetahuan ini, ilmu membuat beberapa asumsi mengenai objek-objek empiris. Sebuah pengetahuan baru dianggap benar selama kita bisa menerima asumsi yang dikemukakannya. Secara lebih terperinsi ilmu mempunyai tiga asumsi yang dasar. Asumsi pertama, menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Asumsi kedua, ilmu menganggap bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu . Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Asumsi ketiga, ilmu menganggap bahwa tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai suatu hubungan pola-pola tertentu yang bersifat tetap dengan urutan kejadian yang sama. Dalam penegartian ini ilmu mempunyai sifat deterministik. Namunpun demikian dalam determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).
D. Karakteristik Filsafat Ilmu
Ilmu sebagai salah satu bidang dalam filsafat, di abad modern ini memang mendapat tempat dan porsi terbesar, Perkembangan ilmu saat ini banyak mendorong terjadinya perubahan-perubahan peradaban, Abad modern memang sangat didorong oleh kemunculan rasionalitas ilmu sebagai dasar dominan rasionalitas modern. Ilmu sebagai sebuah konsep memang mengandung pengertian yang cukup komplek. Ilmu dalam bahasa inggris ‘science’, dari bahasa Latin ‘scientia’ (pengetahuan). Sinonim yang paling akurat dalam bahasa Yunani adalah ‘ episteme’. Pada prinsipnya ‘ilmu’ merupakan cabang pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Meskipun secara metodologis ilmu tidak membedakan antara ilmu sosial dan ilmu alam , karena permasalahan-permasalahan teknis yang bersifat khas, maka filsafat ilmu sering dibagi menjadi ‘filsafat ilmu alam’ dan filsafat ilmu sosial’.
Karakteristik ilmu yang paling kentara adalah bahwa cara kerjanya ditentukan oleh sebuah metode. Metode berarti bahwa penyelidikan berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Tekanan ilmu terletak pada bagaimana sebuah metode dibangun. Ilmu yang dalam perkembangannya memakai metode ilmiah di dalam hukum-hukumnya mempunyai bahasa-bahasa ilmiah yang berbeda dengan bahasa keseharian yang lain. Karakteristik yang nampak dalam bahasa ini adalah bahwa bahasa ilmiah selalu menekankan unsur “bebas nilai”.
Karakteristik yang kedua adalah bahwa bahasa ilmu
sifatnya tertutup dan memakai cara kerja sistem sendiri. Ada banyak model dan
cara kerja ilmu yagn berkembang sesuai dengan perkembangan filsafat manusia.
Jika kita lihat di sana akan ditemukan pengertian-pengertian Rasionalisme,
Empirisme, Positivisme, Rasionalitas Kritis, Konstruktivisme. Masing-masing
mempunyai metodologi yang khas tetapi masih dalam kesatuan ciri khas kerja
sebuah ilmu.
Filsafat ilmu pada prinsipnya bertugas meneliti dan menggali sebab-musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan, di antaranya paham tentang kepastian, kebenaran dan objektivitas. Cara kerja filsafat ilmu pengetahuan pada prinsipnya adalah sebuah penelitian tentang apa yang memungkinkan ilmu-ilmu tersebut terjadi dan berkembang.
E. Batas-batas Kerja Ilmu
Jika kita mempertanyakan apa batas kerja ilmu atau batas penjelajahan ilmu maka bisa dijelaskan bahwa ilmu memulai penjelajahannya pada pengalaman manusia dan dan berhenti di batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari sesuatu yang bukan dari pengalaman manusia, maka ilmu tidak bekerja di luar batas kerjanya seperti keyakinan surga dan neraka.
Metode yang dipergunakan dalam menyusun ilmu telah
teruji kebenarannya secara empiris. Dalam perkembangannya kemudian maka muncul
banyak cabang ilmu yang diakibatkan karena proses kemajuan dan penjelajahan
ilmu yang tidak pernah berhenti. Dari sinilah kemudian lahir konsep “kemajuan”
dan “modernisme” sebagai anak kandung dari cara kerja berpikir keilmuan.
Ahli ontologi menggunakan beberapa pertanyaan mendasar tentang keberadaan sesuatu dengan tujuan untuk memperoleh jawaban yang paling ideal. Pertanyaan-pertanyaan utama dalam ontologi adalah:
• Atas dasar apakah ”sesuatu” itu dikatakan sebagai
”ada”?
• Jika ”sesuatu” itu dikatakan ”ada”, bagaimana cara
mengelompokkannya?
Kedua pertanyaan tersebut telah mendorong dilakukannya upaya untuk membagi entitas-entitas yang melekat pada ”sesuatu” menjadi kelompok atau kategori. Karena jumlah entitas sangat banyak, maka daftar kategori yang dibuat juga beragam. Untuk mempermudah kita menemukan kategori yang diinginkan, kategori-kategori yang ada disusun dan dihubungkan dalam bentuk skema. Aplikasi dari kategorisasi entitas dapat dilihat dalam ilmu perpustakaan dan IT.
Pengembangan dari dua pertanyaan mendasar dalam ontologi telah mendorong ahli filsafat untuk berpikir lebih keras dan memacu perkembangan ontologi dan aplikasinya dalam berbagai bidang. Berikut ini adalah beberapa contoh pertanyaan dalam ontologi:
a)
Apa yang dimaksud dengan ”ada”?
b)
Apakah ”ada” memiliki sesuatu atau
property?
c)
Jika ”sesuatu” tersusun atas
entitas, maka entitas manakah yang fundamental?
d)
Bagaimana properti dari sebuah obyek dapat berhubungan
dengan obyek tersebut?
e)
Apa ciri yang paling penting dari
sebuah obyek?
f)
Jika ”ada” memiliki tingkatan
(level), berapa jumlah level yang dimiliki oleh sebuah ”ada”?
g)
Apa yang dimaksud dengan obyek
fisik?
h)
Apakah bukti yang dapat menyatakan
bahwa suatu obyek fisik itu dikatakan sebagai ”ada”?
i)
Apakah bukti yang dapat menyatakan
bahwa suatu obyek fisik memiliki entitas atau unsur non-fisik?
·
Konsep ontologi
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu
Konsep-konsep yang berkembang dalam ontologi dapat dirangkum menjadi 5 konsep utama, yaitu
a. Umum dan tertentu
Umum (universal) adalah sesuatu yang pada umumnya
dimiliki oleh sesuatu, misalnya: karakteristik dan kualitas. “Umum” dapat
dipisahkan atau disederhanakan melalui cara-cara tertentu. Sebagai contoh, ada
dua buah kursi yang masing-masing berwarna hijau, maka kedua kursi ini berbagi
kualitas ”berwarna hijau” atau ”menjadi hijau”.
Tertentu (particular) adalah entitas nyata yang terdapat pada ruang dan waktu. Contohnya, Socrates (guru dari Plato) adalah tertentu (particular), seseorang tidak dapat membuat tiruan atau kloning dari Socrates tanpa menambahkan sesuatu yang baru pada tiruannya.
b. Kesengajaan (substance) dan ketidaksengajaan (accident)
Substansi adalah petunjuk yang dapat menggambarkan
sebuah obyek, atau properti yang melekat secara tetap pada sebuah obyek. Jika
tanpa properti tersebut, maka obyek tidak ada lagi.
Ikutan (accident) dalam filsafat adalah atribut yang
mungkin atau tidak mungkin dimiliki oleh sebuah obyek. Menurut Aristoteles,
”ikutan” adalah kualitas yang dapat digambarkan dari sebuah obyek. Misalnya:
warna, tekstur, ukuran, bentuk dsb.
c. Abstrak dan kongkrit
Abstrak adalah obyek yang ”tidak ada” dalam ruang dan
waktu tertentu, tetapi ”ada” pada sesuatu yang tertentu, contohnya: ide,
permainan tenis (permainan adalah abstrak, sedang pemain tenis adalah
kongkrit).
Kongkrit adalah obyek yang ”ada” pada ruang tertentu dan
mempunyai orientasi untuk waktu tertentu. Misalnya: awan, badan manusia.
d. Esensi dan eksistensi
Esensi adalah adalah atribut atau beberapa atribut yang
menjadi dasar keberadaan sebuah obyek. Atribut tersebut merupakan penguat dari
obyek, jika atribut hilang maka obyek akan kehilangan identitas. Eksistensi
(existere: tampak, muncul. Bahasa Latin) adalah kenyataan akan adanya suatu
obyek yang dapat dirasakan oleh indera.
e. Determinisme dan indeterminisme
Determinisme adalah pandangan bahwa setiap kejadian
(termasuk perilaku manusia, pengambilan keputusan dan tindakan) adalah
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari rangkaian kejadian-kejadian
sebelumnya.
Indeterminisme merupakan perlawanan terhadap
determinisme. Para penganut indeterinisme mengatakan bahwa tidak semua kejadian
merupakan rangkaian dari kejadian masa lalu, tetapi ada faktor kesempatan
(chance) dan kegigihan (necessity). Kesempatan (chance) merupakan faktor yang
dapat mendorong terjadinya perubahan, sedangkan kegigihan (necessity) dapat
membuat sesuatu itu akan berubah atau dipertahankan sesuai asalnya
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Ontologis; cabang ini menguak tentang objek apa yang di telaah ilmu? Bagaimana ujud yang hakiki dari objek tersebut ? bagaimana hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia (sepert berpikir, merasa dan mengindera) yang membuakan pengetahuan?
Dengan demikian Ontologi Ilmu (dimensi ontologi Ilmu) adalah Ilmu yang mengkaji wujud (being) dalam perspektif ilmu — ontologi ilmu dapat dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif objek materil ke-Ilmuan, konsep-konsep penting yang diasumsikan oleh ilmu ditelaah secara kritis dalam ontologi ilmu. Ontologi adalah hakikat yang Ada (being, sein) yang merupakan asumsi dasar bagi apa yang disebut sebagai kenyataan dan kebenaran.