Disusun oleh: Zulva Arrasyied
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Ilmu pada
dasarnya adalah pengetahuan tentang sesuatu hal atau fenomena, baik yang
menyangkut alam atau sosial (kehidupanbermasyarakat), yang diperoleh manusia
melalui proses berpikir.
Sedangkan
pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui atau diperoleh
manusia melalui pengamatan inderawi.
Filsafat
ilmu merupakan bagian dari epistemologi ( filsafat pengetahuan ) yang secara
spesifik mengkaji hakikat ilmu ( pengetahuan ilmiah ). Meskipun secara
metodologis ilmu tidak membedakan antar ilmu-ilmu alam dengan ilmu-ilmu sosial,
namun karena permasalahan-permasalahn teknis yang bersifat khas makan filsafat
ilmu ini sering dibagi menjadi filsafat ilmu-ilmu alam dan filsafat ilmu-ilmu
sosial. Pembagian ini lebih merupakan pembatasan masing-masing bidang yang di
telaah, yakni ilmu-ilmu alam atau ilmu-ilmu sosial, dan tidak mencirikan cabang
filsafat yang bersifat otonom.
Ilmu
memang berbeda dari pengetahuan-pengetahuan secara filsafat, namun tidak
terdapat perbedaan yang prinsipal antara ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial,
dimana keduanya mempunya ciri-ciri keilmuan yang sama.
Semua
pengetahuan apakah itu ilmu, seni atau pengetahuan apa saja pada dasarnya
mempunyai 3 landasan yaitu landasan ontologis, landasan epistemologis dan
landasan aksiologis. Yang berbeda adalah materi perwujudannya serta sejauh mana
landasan-landasan dari ketiga aspek ini diperkembangkan dan dilaksanakan.
1.2. Rumusan masalah
- Apa yang dimaksud dengan filsafat farmasi?
- Apa hubungan filsafat farmasi dengan ilmu pengetahuan?
- Apa saja aspek dari filsafat ilmu farmasi?
- Apa saja etika yang perlu diterapkan dalam farmasi?
1.3.Tujuan
- Untuk mengetahui dan memahami filsafat farmasi
- Untuk mengetahui keterkaitan / hubungan antara filsafat farmasi dan ilmu pengetahuan
- Untuk mengetahui aspek apa saja yang terdapat didalam filsafat farmasi
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1. FARMASI DALAM KONTEKS FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Ditinjau dari segi historis, hubungan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat
menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi
hampir seluruh pemikiran teoretis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan
dikemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain.
Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi
terpecah-pecah, dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka
mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu
pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan
pemikiran Van Peursen, yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian
dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat
yang dianut.
Dalam perkembangan lebih lanjut,
filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang
secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya,
berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Dengan demikian, perkembangan ilmu
pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada
akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu
pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu
pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat
asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat
ditentukan.
Jika Ilmu Pengetahuan Tertentu dikaji
dari ketiga aspek (ontologi, epistemologi dan aksiologi), maka perlu
mempelajari esensi atau hakikat yaitu inti atau hal yang pokok atau intisari
atau dasar atau kenyataan yang benar dari ilmu tersebut. Contohnya Membangun
Filsafat Ilmu Farmasi perlu menelusuri dari aspek :
Ontologi yaitu eksistensi (keberadaan)
dan essensi (keberartian) ilmu-ilmu kefarmasian. Di sini ditinjau objek apa
yang ditelaah sehingga menghasilkan pengetahuan tersebut. Objek ontologis pada
farmasi ialah obat dari segi kimia dan fisis, segi terapetik, pengadan,
pengolahan sampai pada penyerahannya kepada yang memerlukan.
Epistemologi yaitu metode yang
digunakan untuk membuktikan kebenaran ilmu-ilmu kefarmasian. Landasan
epistemologis kebiasan sehari-hari ialah pengalaman dan akal sehat; landasan
epistemologis farmasi ialah logika deduktif dan logika induktif dengan
pengajuan hipotesis, yang dinamakan pula metode logiko-hipotetiko-verifikatif.
Aksiologi yaitu manfaat dari ilmu-ilmu
kefarmasian. Di sini mempertanyakan apa nilai kegunaan pengetahuan tersebut.
Kegunaan atau landasan aksiologis farmasi adalah bertujuan untuk kesehatan
manusia.
Semua bentuk pengetahuan dapat
dibeda-bedakan atau dikelompokkan dalam berbagai kategori atau bidang, sehingga
terjadi diversifikasi bidang ilmu pengetahuan atau disiplin ilmu yang berakar
dari kajian filsafat, yaitu seni (Arts), etika (Ethics), dan
Sains (Science). Disatu pihak, farmasi tergolong seni teknis (Technical
arts) apabila ditinjau dari segi pelayanan dalam penggunaan obat (medicine);
di lain pihak farmasi dapat pula dogolongkan dalam ilmu-ilmu pengetahuan alam (natural
science).
Sebagai ilmu , farmasi menelaah obat
sebagai materi, baik yang berasal dari alam maupun sintesis dan menggunakan
metode logiko-hipotetiko-verifikatif sebagai metode telaah yang sama seperti
digunakan pada bidang ilmu pengetahuan alam. Oleh karena itu farmasi merupakan
ilmu yang dapat dikelompokkan dalam bidang sains.
Farmasi pada dasarnya merupakan sistem
pengetahuan yang mengupayakan dan menyelenggarakan jasa kesehatan dengan
melibatkan dirinya dalam mendalami, memperluas, menghasilkan dan mengembangkan
pengetahuan tentang obat dan dampak obat yang seluas-luasnya serta efek dan
pengaruh obat pada manusia dan hewan. Untuk menumbuhkan kompetensi dalam sistem
pengetahuan, farmasi menyaring dan menyerap pengetahuan yang relevan dari ilmu
biologi, kimia, fisika, matematika, perilaku dan teknologi; pengetahuan ini
dikaji, diuji, diorganisir, ditransformasi dan diterapkan.
Farmasi sebagai ilmu juga meliputi
pelayanan obat secara professional. Istilah professional saat ini semakin
dikaburkan karena banyak digunakan secara salah kaprah. Semua pekerjaan (job,
vacation, occupation) dan keahliah (skill) dikategorikan
sebagai profesi. Demikian pula istilah professional sering digunakan sebagai
lawan kata amatir.
Menurut Hughes, E.C.: “Profession pofess to know better
than other the nature of certain matters, and to know better than their clients
what ails them or their affairs”. Definisi ini
menggambarkan suatu hubungan pelayanan antar-manusia, sehingga tidak semua
pekerjaan atau keahlian dapat dikategorikan sebagai profesi. Menurut Schein, F.H. “The
profession are a set of occupation that have developed a very special set or
norms deriving from their special role in society”. Kelompok
profesi dapat dibedakan dari yang bukan profesional menurut kriteria berikut:
- Memilih pengetahuan khusus, yang berhubungan dengan kepentingan sosial. Pengetahuan khusus ini dipeajari dalam waktu yang cukup lama untuk kepentingan masyarakat umum.
- Sikap dan perilaku professional. Seorang professional memiliki seperangkat sikap yang mempengaruhi perilakunya. Komponen dasar sikap ini ialah mendahulukan kepentingan orang lain (altruisme) di atas kepentingan diri sendiri. Menurut Marshall, seorang professional bukan bekerja untuk dibayar, tetapi ia dibayar supaya ia dapat bekerja.
- Sanksi sosial. Pengakuan atas suatu profesi tergantung pada masyarakat untuk menerimanya. Bentuk penerimaan masyarakat ini ialah dengan pemberian hak atau lisensi oleh Negara untuk melaksanakan praktek suatu profesi. Lisensi ini dimaksudkan untuk menghindarkan masyarakat dari oknum yang tidak berkompetensi untuk melakukan praktek professional.
Farmasi didefinisikan sebagai profesi
yang menyangkut seni dan ilmu penyediaan bahan obat, dari sumber alam atau
sintetik yang sesuai, untuk disalurkan dan digunakan pada pengobatan dan
pencegahan penyakit. Farmasi mencakup pengetahuan mengenai identifikasi,
pemilahan, aksi farmakologis, pengawetan, penggabungan, analisis, dan pembakuan
bahan obat dan sediaan obat. Pengetahuan kefarmasian mencakup pula penyaluran
dan penggunaan obat yang sesuai dan aman, baik melalui resep dokter berizin,
dokter gigi, dan dokter hewan, maupun melalui cara lain yang sah, misalnya
dengan cara menyalurkan atau menjual langsung kepada pemakai.
Sebagian besar kompetensi farmasi ini
diterjemahkan menjadi produk yang dikelola dan didistribusikan secara
professional bagi yang membutuhkannya. Pengetahuan farmasi disampaikan secara
selektif kepada tenaga professional dalam bidang kesehatan dan kepada orang
awam dan masyarakat umum agar pengetahuan mengenai obat dan produk obat dapat
memberikan sumbangan nyata bagi kesehatan perorangan dan kesejahteraan umum
masyarakat.
ETIKA
: ethikos (Yunani) : moral ethos : karakter, kebiasaan , adat-istiadat.
- Pengertian ETIKA : berhubungan erat dengan kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik bagi diri sendiri, maupun orang lain, masyarakat & lingkungan.
Ø kebiasaan hidup yang baik ini lalu
dibakukan menjadi :
bentuk kaidah – aturan – ataupun norma
Isi : nilai-nilai dan
prinsip-prinsip moral yang harus dijadikan
pegangan
dalam berperilaku
Ø Etika
dipahami sebagai pedoman bagaimana manusia harus hidup dan bertindak / berperilaku
sebagai orang yang baik
Ø ETIKA : memberi petunjuk – orientasi
– arah bagaimana harus hidup secara baik sebagai manusia
- Etika merupakan refleksi kritis tentang bagaiamana manusia harus hidup dalam situasi kongkrit, situasi khusus tertentu. Etika adalah filsafat moral yang mengkaji secara kritis persoalan baik dan buruk secara moral tentang bagaimana harus bertindak dalam situasi kongkrit (sering merupakan situasi dilematis).
Refleksi kritis menyangkut tiga hal :
1) Norma & nilai yg diberikan oleh
etika & moralitas
2) Situasi khusus yg dihadapi dg segala
keunikan dan kompleksitasnya
3) Berbagai faham yg dianut manusia
tentang apa saja harus dikaji &
dipertimbangkan utk mengambil keputusan
KODE ETIK PROFESI :
Kumpulan
ketentuan tentang baik buruknya tingkah
laku anggota suatu profesi, yang harus ditaati oleh anggota profesi itu
berdasrakan kesepakatan anggota profesi itu sendiri.
KODE ETIK APOTEKER
:
Adalah
kode etik yang harus ditaati oleh anggota IAI berdasarkan kesepakatan yang
diputuskan dalam Kongres IAI.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Perjanjian
antara Pemilik Sarana Apotik dengan Apoteker Pengelola Apoteker jika dilihat
dari sudut komposisi modal maka termasuk perjanjian kerjasama karena
masing-masing pihak sama-sama memasukkan modal. Pemilik Sarana Apotik memasukkan
modal uang, gedung serta sarana dan prasarana apotik, sedangkan Apoteker
Pengelola Apoteker memasukkan tenaga, keahlian dan jasa serta ijin dari pihak
terkait. Namun apabila Apoteker Pengelola Apotik tidak menanam modal, maka
perjanjian tersebut termasuk perjanjian perburuhan atau perjanjian kerja karena
Apoteker Pengelola Apotik memperoleh Gaji bulanan yang besarnya ditentukan
bersama-sama dengan Pemilik Sarana Apotik.
2. Masalah
yang bisa menjadi sengketa dalam perjanjian kerja sama Pemilik Sarana Apotik
(PSA) dengan Apoteker Pengelola Apotik (APA), antara lain resiko kerugian
dalam perjanjian kerjasama dan pembagian keuntungan dalam perjanjian
kerjasama anatara pemilik modal dengan apoteker serta dasar hukum
yang dipakai untuk menentukan pembagian keuntungan bagi kedua belah pihak.
Apabila timbul perbedaan pendapat atau perselisihan di antara kedua belah
pihak, yang tidak dapat diselesaikan dengan cara tersebut di atas, maka
perselisihan tersebut dapat diselesaikan oleh Badan Arbitrase.
3. Dalam
pelaksanaan Perjanjian Kerja Sama antara Pemilik Sarana Apotik (PSA) dengan
Apoteker Pengelola Apotik (APA) muncul beberapa hambatan-hambatan, antara lain
:
·
Prosedur Perizinan Pendirian Apotik
·
Pemilik Modal Apotik
·
Pengiriman obat-obatan dari
Perusahaan Besar Farmasi
DAFTAR PUSTAKA